TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN
PEMBIMBING
PERBANDINGAN
MAZHAB DINY MAHDANI, SHI, M.Pd.I
DASAR-DASAR DAN
SUMBER DALAM ISTINBATH HUKUM IMAM MAZHAB
Disusun oleh:
Muhammad Busyairi An-Namangi Nim: 2013 121 575
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI)
DARUL ULUM
KANDANGAN
TAHUN AKADEMIK
2013-2014
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulilah puja serta puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah
swt yang telah memberikan taufiq,
hidayah serta inayahnya sehingga kami dapat menggerakkan tangan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah PERBANDINGAN
MAZHAB yang berupa sebuah tulisan makalah yang membahas tentang “DASAR-DASAR
DAN SUMBER DALAM ISTINBATH HUKUM IMAM MAZHAB” .
Serta salawat dan
salam kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw yang telah
membawa kita dari alam kejahilan ke alam yang penuh pengatahuan dan dari alam
kegelapan ke alam yang terang benderang. Dan saya berharap semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi pembacanya umumnya dan penulis khususnya.
Kemudian dengan
hati yang lapang kami menerima kritek atau pun saran jika ada kesalahan dan
kekeliruan dalam makalah ini guna untuk melangkapi dan membenarkan kekeliruan tersebut.
KANDANGAN, 14 Mei
2014
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
i
KATA PENGANTAR.....................................................................................
ii
DAFTAR ISI...................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1
A.
Latar
belakang masalah........................................................................
1
B.
Rumusan
masalah.................................................................................
2
C.
Tujuan
masalah.....................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................
3
A.
Pengertian
sumber hukum Islam...........................................................
3
B.
Pengertian
Istinbath..............................................................................
5
C.
Dasar-dasar
dan sumber hukum dalam Istinbath Imam Mazhab.........
5
BAB III PENUTUP.........................................................................................
18
A.
Kesimpulan...........................................................................................
18
B.
Saran-saran...........................................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Wafatnya Rasulullah SAW menandai
berakhirnya pembentukan syari’at Islam. Para sahabat sebagai perpanjangan
tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam dihadapkan pada
persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti
berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan
yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin
berkembang dan tidak mungkin semuanya terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah,
maka jauh-jauh hari Rasulullah telah memberikan contoh melalui pembicaraannya
dengan Mu’az bin Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada
al-Qur’an atau sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan
melalui ijtihad yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber
utama tersebut.
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah kemudian yang melahirkan fiqih.
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah kemudian yang melahirkan fiqih.
Perbedaan kuantitas hadits oleh
kalangan tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar
kualitas hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan
terjadinya perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil
ijtihad juga ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya
menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih. Di dalam makalah ini penulis
mencoba memberikan penjelasan mengenai sistematika sumber hukum Islam dan
sistem istinbath masing-masing imam mazhab yang empat, yaitu imam Abu Hanifah,
imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad ibn Hanbal.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
Istibath?
2.
Apa dasar-dasar
dan sumber dalam Istinbath Hukum Imam Mazhab?
C.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas kelompok, dan supaya mahasiswa dapat mengatahui apa itu pengertian
istimbath serta apa saja dasar-dasar dan sumber dalam istimbat hukum imam
mazhab, semoga kita semua bisa memahami dan mengatahuinya amin.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian sumber hukum Islam
Kata “Sumber Hukum Islam” terdiri
dari tiga kata yaitu sumber, hukum, dan Islam. Adapun kata “sumber” yang dalam
bahasa arabnya مصدر- مصادر”” yang berasal dari
akar kata “صدر- يصدر“ berarti tempat
terbit sesuatu atau asal sesuatu. Yang dimaksud dengan sumber disini ialah
apa-apa yang dijadikan bahan rujukan bagi ulama dalam merumuskan
pendapat-pendapat hukumnya (fiqih).
Hukum Islam merupakan rangkaian dari
kata “hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu secara terpisah merupakan kata
yang digunakan dalam bahasa arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan juga
dalam bahasa Indonesia baku. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah
menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata
yang terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, juga tidak
ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu tidak akan menemukan
artinya secara definitif.
Untuk memahami pengertian Hukum Islam perlu terlebih dahulu diketahui kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata “hukum”, karena setiap definisi akan mengandung titik lemah. Karena itu untuk memudahkan memahami pengertian “hukum”, berikut ini akan diketengahkan definisi hukum dalam arti yang sederhana, yaitu: seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun oleh orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Untuk memahami pengertian Hukum Islam perlu terlebih dahulu diketahui kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata “hukum”, karena setiap definisi akan mengandung titik lemah. Karena itu untuk memudahkan memahami pengertian “hukum”, berikut ini akan diketengahkan definisi hukum dalam arti yang sederhana, yaitu: seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun oleh orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Definisi tersebut tentunya masih
mengandung kelemahan, namun dapat memberikan pengertian yang mudah dipahami.
Bila kata “hukum” dalam pengertian diatas dihubungkan dengan kata “Islam” atau
“syara’”, maka “hukum Islam” akan berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan
wahyu Allah SWT dan atau sunnah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.
Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam
itu adalah peraturan-peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai
kekuatan yang mengikat. Kata “yang berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah
Rasulullah SAW” menjelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan
berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW, atau yang populer
dengan sebutan “syari’ah”. Kata “tentang tingkah laku manusia mukallaf”
mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia
yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap
orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW
itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Sementara itu, kata “hukum Islam” juga berhubungan dengan kata “syari’ah”. Secara leksikal syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang untuk maksud kata “syari’ah”. Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”.
Sementara itu, kata “hukum Islam” juga berhubungan dengan kata “syari’ah”. Secara leksikal syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang untuk maksud kata “syari’ah”. Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”.
Dengan demikian syariah itu adalah
nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Di antara ulama ada yang
mengkhususkan lagi penggunaan kata syari’ah itu dengan “apa yang bersangkutan
dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup
kepada halal dan haram”. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang
diriwayatkan oleh al-Thabari, ahli tafsir dan sejarah, sebagaimana yang dikutip
oleh Amir Syarifuddin, menggunakan kata syari’ah kepada hal yang menyangkut
kewajiban, hak, perintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya aqidah,
hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama. Mahmud Syaltut mengartikan
syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi
hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan
sesama manusia dan alam sekitarnya”.[2]
B.
Pengertian Istinbath
Secara bahasa, kata
istinbath berasal dari kata istanbatha-yastanithu-istinbathan yang
berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan.
Dengan demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau
dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna
menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.
Pengertian istinbath
hukum sering juga diartikan secara kurang tepat, di mana ia diartikan sebagai
dalil hukum. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Secara bahasa, kata
dalil berarti petunjuk kepada sesuatu yang dapat dirasa maupun yang tidak dapat
dirasa, baik petunjuk yang baik maupun buruk. Menurut ahli ushul fikih dalil
adalah sesuatu yang menunjukkan pada pandangan yang benar terhadap hukum
syari’ah yang bersifat praktis melalui jalan yang qath’i atau zhanni.
Tujuan istinbath hukum
adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf dengan
meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita
dapat memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber
hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan
mengetahui perbedaan pendapat para ahli fikih dalam menentukan hukum suatu
kasus tertentu. Jika seorang ahli fikih menetapkan hukum syariah atas perbuatan
seorang mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber
hukum yang terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli
ushul fikih.[3]
C.
Dasar-dasar dan sumber Hukum Dalam Istinbath Imam Mazhab
Masing-masing imam mazhab memiliki
beberapa persamaan dan perbedaan dalam menjadikan suatu sumber sebagai landasan
dalam penetapan hukum. Adapun
persamaan yang dapat dilihat dari masing-masing mazhab yaitu mereka sama-sama
mengedepankan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber yang utama. Namun dalam penilaian keshahihan ataupun
kedhaifan sebuah Hadits,
mereka berbeda-beda. Sedangkan perbedaan yang paling tampak ialah dalam
Perbedaan mereka dalam menggunakan dalil-dalil mukhtalaf, yaitu dalil –dalil
yang diperselisihkan. Misalnya, kalau Abu Hanifah menggunakan istihsan sebagai
salah satu sumber, maka imam Syafi’I menolaknya. Adanya perbedaan –perbedaan
dalam penetapan sumber hukum yang diperselisihkan sebagai landasan penetapan
hukum, ini karena disebabkan Perbedaan waktu, tempat dan kondisi para imam
maupun Perbedaan mereka dalam mensikapi dalil-dalil yang kelihatan
kontradiktif. Oleh karena itu, sebagai umat muslim, kita harus dapat mensikapi
secara bijak adanya perbedaan – perbedaan hukum yang ditetapkan oleh
masing-masing mazhab.[4]
Adapun dasar-dasar atau pun sumber
hukum dalam Istinbath Imam Mazhab ialah:
1.
Dasar-dasar
atau pun sumber hukum mazhab Hanafi (Abu Hanifah)
1)
Al-Qur’an
2)
As-Sunnah
3)
Ijma’ sahabat
4)
Pendapat sahabat pribadi
5)
Qiyas
6)
Istihsan
7)
‘Uruf
a. Al-Qur’an,
Hadits dan Ijma’
Bagi mazhab Hanifah (Abu Hanifah)
Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ merupakan sumber hukum yang terpenting, jika hukum
tersebut tidak terdapat didalam Al-Qur’an maka meruju’ ke Hadits dan jika tidak
terdapat didalam hadits maka meruju’ ke Ijma’. Terkait dengan sunnah, Imam
Hanafi hanya menggunakan hadits yang shahih dan masyhur.
Pendapat para sahabat Imam Hanafi
hanya menggunakan pendapat yang memadai permasalahan pada masa itu, dalam
menetapkan pandangan ini sebagai prinsip penting mazhab.
b. Qiyas
(Deduksi Analogis)
Konsep yang diutarakan oleh Hanafi
bahwa beliau tidak harus menerima hukum dari para tabi’in atau dari muridnya
sahabat, dia memandang bahwa dirinya setara dengan para tabi’in dan melakukan
atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri.
c. Istihsan
(Prepensi)
Istihsan sederhanaya adalah suatu
bukti yang lebih disukai dari pada bukti lainnya karena ia tampak lebih sesuai
dengan situasinya yang walaupun bukti yang digunakan ini lebih lemah dari pada
bukti lain.
d. ‘Uruf
(Tradisi Lokal)
Tradisi lokal diberi bobot hukum
dalam wilayah dimana tidak terdapat tradisi Islam yang mengikat, melalui
penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang beragam dalam budaya yang berbeda
didalam dunia Islam menjadi sumber hukum.[5]
2.
Dasar-dasar
atau pun sumber hukum mazhab Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas beliau terkenal
dengan ahlul hadits dalam mengistinbathkan hukum Islam. Kitab pegangannya
yang popular adalah Al-Muwatha.
Dasar-dasar mazhab imam Malik bin
Anas diantaranya:
1)
Nash Al-Qur’an
2)
Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir
Al-Qur’an
3)
Dalil Al-Qur’an, yakni Mafhum
mukhalafahnya
4)
Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum
muwafaqahnya
5)
Tambih Al-Qur’an, yakni
memperhatikan illat (sebab) suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena
sesungguhnya semua itu kotor (najis).” Surah Al-An’am ayat 145.
Lima dalil ini adalah yang bersumber
dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal dari sunnah juga sama seperti lima yang
dari A-Qur’an. Dengan demikian jumlahnya menjadi sepuluh. Apun selanjutnya:
6)
Ijma’
7)
Qiyas
8)
Amal/ perbuatan penduduk Madinah
9)
Perkataan sahabat
10) Istihsan
11) Saddu
Dzari’ah
12) Memperhatikan
perbedaan
13) Istishab
14) Mashlahah
Mursalah
15) Syur’u man
Qablana (syariat sebelum kita).[6]
Adapun sumber hukum Imam malik dalam
berijtihad adalah:
1)
Al-Qur’an,
2)
As-Sunnah,
3)
Ijma’
4)
Qiyas
5)
Amal ahlul madinah (Amalan Ulama
Madinah)
6)
Qaul shahabi (perkataan sehabat)
7)
Khabar ahad
8)
Istihsan
9)
Maslahah Mursalah
a. Al-Qur’an
Imam malik melihat dan
mengembangkannya dari segi: Nash dzahir, mafhum mukhalafah, mafhum muwafaqah
dan Al-Tanbih ala al-‘illah. Al-tanbih ala al-‘illah adalah memperhatikan illat
yang disebutkan dalam nash dan mengembangkannya kepada sesuatu yang tidak
disebutkan tapi mempunyai illat yang sama. Misalnya firman Allah pada surat
Al-An’am ayat 145:
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9Í\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã ¨bÎ*sù /u Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÍÎÈ
Artinya: Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang".[7]
b. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah
sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang sama ketika berpegang
kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya pentakwilan, maka
yang dijadikan pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat
pertentangan antara makna zhahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam
sunnah, maka yang dipegang adalah makna zhahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna
yang terkandung dalam sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Madinah maka ia
lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zhahir Al-
Qur’an.[8]
c. Ijma’ ahl Madinah
Ijma’ ahl Madinah ada beberapa macam
, yaitu :
1)
Ijmak ahl madinah yang asalnya dari
Al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah, bukan hasil ijtihad ahl Madinah. Seperti
penentuan tempat mimbar Nabi Muhammad. Ijmak semacam ini dijadikan hujjah oleh
Imam Malik.
2)
Amalan al madinah sebelum
terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijmak ini dijadikan hujjah oleh imam malik,
karena hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui pada masa itu yang
bertentangan dengan sunnah Rasullullah SAW.
3)
Amalan ahl Madinah yang dijadikan
pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya
apabila ada dua dalil yang bertentangan maka untuk mentarjih salah satu
dari kedua dalil , ahl madinah itulah yang dijadikan sebagai hujjah.
4)
Amalan ahl madinah sesudah masa
keutamaaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl madinah seperti ini bukan
hujjah menurut mazhab maliki
d. Qaul Shahabi
(perkataan sahabat)
Yang dimaksud sahabat disini ialah
sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan
pada naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan qaul shahabi berwujud hadits-hadits
yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak
akan memberi fatwa kecuali atas dasar yang dipahami dari Rasulullah.
e. Khabar Ahad
Dalam menggunakan khabar Ahad, Imam
Malik tidak konsisten. Sebab terkadang ia lebih mendahulukan qiyas daripada
khabar ahad. Misalnya, bila khabar ahad tersebut tidak dikenal oleh kalangan
masyarakat Madinah, ini berarti khabar ahad itu tidak benar dari Rasulullah
SAW. Maka, khabar ahad itu tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi beliau
akan menggunakan qiyas dan maslahah.
f. Al- Istishan
Menurut mazhab Maliki Al- Istishan
adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam
dalil yang bersifat kully (menyeluruh). Dalam istilah lain, Istishan adalah
beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari
tujuan syari’at diturunkannya. Tegasnya, istishan selalu melihat dampak suatu
ketentuan hukum, yakni jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak
merugikan. Dampak suatu hukum harus mendatangkan manfaat dan menghindarkan
mudharat.
Menurut mazhab Maliki, istishan
bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan hukum atas dasar
ra’yu semata, melainkan berpindah dari suatu dalil ke dalil lain yang lebih
kuat. Dalam kaidah fiqiyah disebut raf’ul al- Haraj wa al-Masyaqah
(menghindarkan kesempitan yang telah diakui syari’at kebenarannya).
g. Maslahah al-Mursalah
Maslahah al-Mursalah adalah maslahah
yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak
disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka berarti Maslahah al-Mursalah
kembali pada memelihara tujuan syari’at yang diturunkan. Adapun tujuan syari’at
diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur’an dan sunnah.[9]
3.
Dasar-dasar
dan sumber hukum mazhab Imam Syafi’i
Adapun
Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal itu di utarakan Imam Syafi’i
didalam kitab Risalah:
a)
Al-Qur’an
b)
Al-Hadits
c)
Ijma’
d)
Ra’yu
(qiyas).[10]
1)
Al-Qur’an
Konsep
Al-Qur’an menurut para ulama dan Syafi’i sama, yaitu suatu sumber hukum yang
mutlaq, ini adalah landasan dasar, karena tidak mungkin didapati perbedaan
dalamnya baik lafald dangan lafald. Pemahaman Imam Syafi’i dikuatkan dengan
firman Allah yang artinya: “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi
rahmat”[11]
Dalam
menggali hukum Al-Qur’an Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan bahasa
sebagaimana yang telah beliau utarakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan difahami tidak mungkin terdapat
lafadz-lafadz ‘ajam. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat Al-Qur’an
setiap kali beliau berfatwa, namun Syafi’i menganggap bahwa Al-Qur’an tidak
bisa dilepaskan dari sunnah (Al-Hadits), karena kaitan antara keduanya sangat
erat.[12]
2)
Al-Hadits
(sunnah)
Arti
sunnah yang biasanya disebut dalam Ar-Risalah adalah “khabar” dalam arti
istilah ilmu hadits adalah berita, bentuk jama’nya adalah khabar dalam artian
yang keseluruhannya datang dari Nabi atau selainnya, penggunaan khabar lebih
luas dari pada hadits.
Pemahaman
Syafi’i tentang hadits adalah sebagai bentuk:
a)
Al-Aqwal
Nabi
b)
Al-Af’al
Nabi
c)
Al-Taqdiru
Nabi ‘ala amrin
Untuk
hadits Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadits yang bersifat Mutawatir dan
ahad, sedangkan untuk hadits yang dhaif hanya digunakan untuk li afdhalil amal,
dalam menerima hadits ahad mazhab Syafi’i mensyaratkan:
1)
Perawinya
tsiqah dan terkenal shiddiq
2)
Perawinya
cerdik dan memahami hadits yang diriwayatkannya
3)
Perawinya
dengan riwayat bil lafdhi bukan dengan riwayat bilmakna.
4)
Perawinya
tidak menyalahi ahlu ilmi.
Kalau
kita perhatikan, persyaratan yang disyaratkan oleh Syafi’i hanya untuk
keshahihan suatu hadits, hadits ahad yang diterimanya sebatas kalau hadits
tersebut sahih dan bersembung.
Faktor
yang melatar belakangi Syafi’i lebih teliti dalam menerima hadits karena
sesudah Nabi Wafat banyak dari kelangan aliran politik yang membuat
hadits-hadits palsu untuk menguatkan posisinya sebagai pemimpin. Dan hadits pun
bisa diatur dan diubah sesuai keinginan pemimpin.[13]
3)
Ijma’
Ijma’
yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’nya para sahabat, dalam arti perkara
yang diputuskan oleh para sahabat dan disepakati, maka itu menjadi sumber hukum
yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik Al-Qur’an maupun hadits, contoh
ijma’ yaitu shalat terawih 20 rakaat, jika terjadi perbedaan diantara para
sahabat, maka Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an
dan sunnah.
Ijma’
menurut para ulama menepati posisi ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits, begitu
juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang ditawarkan oleh Syafi’i mengharuskan
merujuk kepada dalil yang ada yaitu Al-Kitab dan As-sunnah yang memiliki
hubungan kepada qias, alasan yang diutarakan Syafi’i kenapa ijma’ harus
disandarkan kepada nash. Pertama, bila ijma’ tidak dikaitkan kepada
dalil maka ijma’ tersebut tidak akan sampai kepada kebenarannya. Kedua,
bahwa para sahabat tidak lebih benar dari pada Nabi, sementara Nabi tidak
pernah menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan dalil-dalil Al-Qur’an. Ketiga,
pendapat Agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah salah besar. Keempat,
pendapat yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hukum
syara’nya.[14]
4)
Ra’yu
(qiyas)
Qiyas
menurut para ahli hukum Islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan
kesimpulan dari prinsip tertentu, perbandingan hukum permasalahan yang baru
dibandingkan dengan hukum yang lama, contoh yang diberikan oleh Imam Syafi’i,
Zakat beras, tulang babi dan lain-lain.
Imam
Syafi’i sangat membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i
tidak bisa independent karena semua yang diutarakan oleh imam Syafi’i dikaitkan
dengan Nash Al-Qur’an dan Sunnah.[15]
4.
Dasar-dasar
dan sumber hukum mazhab Imam Ahmad bin Hambal
Adapn Imam Ahmad ibn Hanbal dalam
menetapkan hukum itu dibangun
atas lima dasar yaitu:
1.
Al-Qur’an dan Sunnah.
2.
Apabila
tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah ia menukil fatwa sehabat yang di
sepakati sehabat lainnya.
3.
Apabila
fatwa sahabat berbeda-beda maka ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4.
Imam
Ahmad bin Hambal mengambil Hadits mursal dan dhaif sekiranya tidak ada dalil
yang menghalanginya.
5.
Qiyas
adalah digunakan dalam keadaan darurat.[16]
a. Al-Qur’an
dan Al-Sunnah Al-Shahih
Jika Imam Ahmad Ibn Hanbal sudah
menemukan Nash, baik dari Al-Qur’an maupun dari al-Hadis al-Shahih, maka dalam
menetapkan hukum Islam beliau akan menggunakan Nash tersebut sekalipun ada
faktor lain yang bisa dipakai bahan pertimbangan. Seperti dalam masalah iddah
wanita hamil yang ditinggal mati suaminya. Dan tidak memakai fatwa Abdullah bin
Abbas sama dengan Imam Asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa masa iddahnya adalah
rentang waktu terpanjang dari dua ketentuan masa iddah dan tetap berpegang pada
nash Al-Qur’an, yaitu empat bulan sepuluh hari.[17]
b. Fatwa para
Sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu
nash yang jelas, baik dari Al-Qurán maupun dari hadits sahih , maka ia
menggunakan fatwa-fatwa dari para Sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan
diantara mereka. Fatwa para Sahabt Nabi yang timbul dalam perselisihan diantara
mereka yang diambilnya yang lebih dekat kepada nash Al-Qurán dan sunah. Apabila
Imam Ahmad tidak menemukan fatwa para sahabat Nabi yang disepakati sesame
mereka, maka beliau menetapkan hukum dengan cara memilih dari fatwa-fatwa
mereka yang dipandang lebih dekat kepada Al-Qurán dan Sunnah.
c. Al-Hadis
al-Mursal dan al-Hadis a-Dhaif
Menggunakan hadis mursal dan hadis
dhaif jika tidak ada dalil lain yang menguatkannya didsahulukan daripada qiyas.
Adapun hadis dhaif menurut versi Imam Ahmad bukan hadis batil atau munkar, atau
ada perawinya yang dituduh dusta serta tidak boleh diambil hadisnya. Namun yang
beliau maksud kandungan hadis dhaif adalah orang yang belum mencapai derajat
tsiqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta dan jika memang demikian maka beliaupun
bagian dari hadis yang Shahih.
d. Qiyas
Apabila Iman Ahmad tidak mendapatkan
nash, baik Al-Qurán dan Sunnah yang sahih serta fatwa-fatwa sahabt, maupun
hadits dhaíf dan mursal, maka Imam Ahmad dalam menetapkan hukum
menggunakan qiyas. Kadang-kadang Imam Ahmad pun menggunakan al-Maslahih
al-Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, Imam Ahmad
pernah menetapkan hukum Ta’zir terhadap orang yang selalu berbuat kerusakan dan
menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap orang yang minum khamar
pada siang hari di bulan Ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh
pengikut-pengikutnya. Begitu pula dengan Istihsan, Istishab, dan sad al-Dzaraí,
sekalipun Imam Ahmad itu sangat jarang menggunakannya dalam menetapkan hukum.
Imam Ahmad ibn Hanbal mengkaji serta
meneliti dengan cermat hadits-hadits yang ada kaitannya dengan halal dan haram.
Begitu pula terhadap sanad-sanad hadits itu , tetapi beliau agak longgar
sedikit dalam menerima hadits-hsdits yang berkaitan dengan ajran-ajaran akhlak
dan keutamaan-keutamaan dalam amal ibadah dan adat istiadat yang terpuji,
sebgaimana Imam Ahmad menyebutkan sebagai berikut: “Apabila kami terima dari
Rasulullah hadits yang mennerangkan halal dan haram , juga menerangkan tentang
Sunnah dan hukum-hukum , kami menelitinya dengan sangat hati-hati dan begitu
juga sanad-sanadnya, tetapi apabila kami menerima hadits tentang masalah yang
tidak berkaitan dengan hukum, kami longgarkan sedikit”.[18]
5.
Dasar-dasar
dan sumber hukum mazhab Imam Ja’far As-Shiddiq
Menurut madzhab ini, yang menjadi
sumber tasyri’ pada madzhab Ja’fari adalah Al-Qur’an, sunnah, Ijma’
dan akal. Orang yang dapat meriwayatkan sunnah hanya terbatas pada periwayatan
yang dilakukan oleh ahlul bait saja, sedangkan yang menjadi objek
sunnah adalah diri Nabi dan para Imam mereka. Dan yang dimaksud dengan ijma’
adalah ijma’ dikalangan mereka sendiri.[19]
Kita bisa melihat madzhab Ja’fariyah
atau madzhab Syi’ah Imamiyah ini dari dua sisi, yaitu dari sisi aqidah yang
memang berafiliasi kepada paham Syiah. Sedangkan yang kedua, dari sisi fiqh
yang sesungguhnya punya beberapa persamaan dengan fiqh 4 madzhab, meski tetap
meninggalkan perbedaan paham fiqh yang prinsip.
Beberapa perbedaan madzhab ini
dengan fiqh ahlisunnah dari segi pemahaman fiqh antara lain:
1)
Menghalalkan nikah mut’ah atau kawin
kontrak.
2)
Mewajibkan adanya saksi dalam setiap
perceraian.
3)
Mengharamkan sembelihan ahli kitab.
4)
Mengharamkan laki-laki muslim
menikah dengan wanita ahli kitab.
5)
Dalam masalah warisan, mereka
mendahulukan anak paman yang seayah dan seibu ketimbang anak paman yang seayah.
6)
Tidak mengakui syari’at al-mashu
‘alal-khuffain sebagai pengganti cuci kaki dalam wudhu’.
7)
Di dalam lafaz azan, mereka
menambahkan kalimat Asyhadu anna “Aliyyan waliyullah dan kalimat Hayya ‘ala
khairil ‘amal.
Adapun dari sisi landasan dasar fiqh
mereka, juga ada beberapa perbedaan mendasar, antara lain:
1)
Dalam maslaah penggunaan dalil-dalil
fiqh, mereka memilih hanya menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
ahlul bait saja. Sikap mereka ini mirip dengan mahzab teman mereka, yaitu
madzhab Az-Zaidiyah yang juga menolak semua hadits riwayat para sahabat selain
ahlul bait.
2)
Mereka punya kitab hadits khusus
yang berjudul Al Kafii fi ilmid-diin, susunan Al-Kulainiy, berisi 60.099
hadits-hadits yang semuanya diriwayatkan dari jalur ahlul bait. Di dalam
kutubussittah termasuk shahih Bukhari dan Muslim, hadits-hadits ini juga ada
termuat dengan dinomorkan dengan nomor Zaid.
3)
Mereka mengedepankan ijtihad namun
menolak qiyas yang tidak disertai nash tentang ‘illatnya.
4)
Mengingkari ijma’ kecuali bila di
dalam ijma’ itu ada imam yang ikut serta.
5)
Rujukan dalam semua masalah fiqh
hanya terbatas kepada ulama dari imam mereka saja.[20]
[1]
Siswady “Makalah sistem istimbath istimbat hukum empat mazhab”. http://siswady.wordpress.com/makalah/sistem-istinbath-hukum-empat-imam-mazhab/, diakses tgl
14-05-2014. 07-36.
[2] Siswady “Makalah
sistem istimbath istimbat hukum empat mazhab”. http://siswady.wordpress.com/makalah/sistem-istinbath-hukum-empat-imam-mazhab/, Ibid, h. 2-3
[3] Abd al-Rahman
al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah,
(al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, t.th), h. 25.
[4] Hasan
Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003),
h. 37
[5] Huzaen Tahido
Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 95-100
[6]
Cakramalailmupendidikan, “Biografi dan metode istinbath imam” http://cakrawalailmupendidikan.blogspot.com/2013/12/biografi-dan-metode-istinbath-imam.html. Diakses tggl
06-05-2014/ 06:12
[7] Prof.Kasuwi
Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy,(kutub minar,2005), h.180
[8] Prof. Kasuwi
Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy, Ibid. h. 182
[9] Muhammad
Ma’sum Zaini,Ilmu ushul fiqih,(Darul hikmah jombang,2008),h. 99-109
[10] Sirajuddin
Abbas, sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiah,
1994), h. 32
[11] Abdul Fatah
Abdullah Al-Barsumi, Tarikh Al-Tasyri’Al-Islami, (Bairut: Dar Al-Fikr,
tth), h. 306
[12] Wahbah
Al-Zuhaili, Ushul Fiqih Al-Islamiyah, (Damsyik: Dar-Fiqr, 1996), h. 420
[13] Manna
Al-Qathan, Mabahits Fi Ulumu Al-Hadis. Terj oleh Mifdhol Abdurrahman,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, tth), h. 25
[14] Roibin, Sosiologi
Hukum Islam; telaah Sosio Hestoris pemikiran Syafi’i, (malang: UIN Malang,
2008), h. 105
[15] Ibid,
h. 106.
[16] Norcahayakemenangan,
“Imam Mazhab Serta Kitab”, http://nurcahayakemenagan.blogspot.com/2013/02/imam-mazhab-serta-kitab.html. Diakses tgl
16-05-2014/ 06-15
[17] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’, (Jakarta; Amzah, 2009), h.195
[18] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’, Ibid, h.198
[20]
Cakramalailmupendidikan,
“Biografi dan metode istinbath imam” http://cakrawalailmupendidikan.blogspot.com/2013/12/biografi-dan-metode-istinbath-imam.html. Op. Cit. h. 9
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,
Sirajuddin, sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka
Tarbiah, 1994)
Abdul Fatah
Abdullah Al-Barsumi, Tarikh Al-Tasyri’Al-Islami, (Bairut: Dar Al-Fikr,
tth)
Al-Jaziry, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, (al-Qubra:
Maktabah al-Tijariyah, t.th)
Al-Jamal, Hasan,
Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003)
Manna Al-Qathan,
Mabahits Fi Ulumu Al-Hadis. Terj oleh Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, tth)
Roibin, Sosiologi
Hukum Islam; telaah Sosio Hestoris pemikiran Syafi’i, (malang: UIN Malang,
2008)
Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’, Jakarta; Amzah, 2009
Saiban, Kasuwi, Metode
Ijtihad Ibnu Rusdy,(kutub minar,2005)
Wahbah
Al-Zuhaili, Ushul Fiqih Al-Islamiyah, (Damsyik: Dar-Fiqr, 1996)
Yanggo, Tahido,
Huzaen, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997)
Zaini,
Ma’sum, Muhammad, Ilmu ushul fiqih,(Darul hikmah jombang,2008)