Jumat, 16 Mei 2014

TUGAS TERSTRUKTUR                                     DOSEN PEMBIMBING
PERBANDINGAN MAZHAB                           DINY MAHDANI,  SHI, M.Pd.I







DASAR-DASAR DAN SUMBER DALAM ISTINBATH HUKUM IMAM MAZHAB











Disusun oleh:

                                Muhammad Busyairi An-Namangi Nim: 2013 121 575





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN AKADEMIK

2013-2014










KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulilah puja serta puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan  taufiq, hidayah serta inayahnya sehingga kami dapat menggerakkan tangan untuk  memenuhi salah satu tugas mata kuliah PERBANDINGAN MAZHAB yang berupa sebuah tulisan makalah yang membahas tentang “DASAR-DASAR DAN SUMBER DALAM ISTINBATH HUKUM IMAM MAZHAB” .
            Serta salawat dan salam kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw yang telah membawa kita dari alam kejahilan ke alam yang penuh pengatahuan dan dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang. Dan saya berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembacanya umumnya dan penulis khususnya.
            Kemudian dengan hati yang lapang kami menerima kritek atau pun saran jika ada kesalahan dan kekeliruan dalam makalah ini guna untuk melangkapi dan  membenarkan kekeliruan tersebut.


KANDANGAN,  14 Mei  2014

Penulis


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.    Latar belakang masalah........................................................................ 1
B.     Rumusan masalah................................................................................. 2
C.     Tujuan masalah..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 3
A.    Pengertian sumber hukum Islam........................................................... 3
B.     Pengertian Istinbath.............................................................................. 5
C.     Dasar-dasar dan sumber hukum dalam Istinbath Imam Mazhab......... 5
BAB III PENUTUP......................................................................................... 18
A.    Kesimpulan........................................................................................... 18
B.     Saran-saran........................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Wafatnya Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syari’at Islam. Para sahabat sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin semuanya terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh hari Rasulullah telah memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah kemudian yang melahirkan fiqih.
Perbedaan kuantitas hadits oleh kalangan tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar kualitas hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih. Di dalam makalah ini penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath masing-masing imam mazhab yang empat, yaitu imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad ibn Hanbal.[1]
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Istibath?
2.      Apa dasar-dasar dan sumber dalam Istinbath Hukum Imam Mazhab?
C.      Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok, dan supaya mahasiswa dapat mengatahui apa itu pengertian istimbath serta apa saja dasar-dasar dan sumber dalam istimbat hukum imam mazhab, semoga kita semua bisa memahami dan mengatahuinya amin.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian sumber hukum Islam
Kata “Sumber Hukum Islam” terdiri dari tiga kata yaitu sumber, hukum, dan Islam. Adapun kata “sumber” yang dalam bahasa arabnya مصدر- مصادر”” yang berasal dari akar kata “صدر- يصدر“ berarti tempat terbit sesuatu atau asal sesuatu. Yang dimaksud dengan sumber disini ialah apa-apa yang dijadikan bahan rujukan bagi ulama dalam merumuskan pendapat-pendapat hukumnya (fiqih).
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan juga dalam bahasa Indonesia baku. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, juga tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu tidak akan menemukan artinya secara definitif.
Untuk memahami pengertian Hukum Islam perlu terlebih dahulu diketahui kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata “hukum”, karena setiap definisi akan mengandung titik lemah. Karena itu untuk memudahkan memahami pengertian “hukum”, berikut ini akan diketengahkan definisi hukum dalam arti yang sederhana, yaitu: seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun oleh orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Definisi tersebut tentunya masih mengandung kelemahan, namun dapat memberikan pengertian yang mudah dipahami. Bila kata “hukum” dalam pengertian diatas dihubungkan dengan kata “Islam” atau “syara’”, maka “hukum Islam” akan berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT dan atau sunnah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”. Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah peraturan-peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Kata “yang berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW” menjelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW, atau yang populer dengan sebutan “syari’ah”. Kata “tentang tingkah laku manusia mukallaf” mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Sementara itu, kata “hukum Islam” juga berhubungan dengan kata “syari’ah”. Secara leksikal syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang untuk maksud kata “syari’ah”. Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”.
Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Di antara ulama ada yang mengkhususkan lagi penggunaan kata syari’ah itu dengan “apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang diriwayatkan oleh al-Thabari, ahli tafsir dan sejarah, sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, menggunakan kata syari’ah kepada hal yang menyangkut kewajiban, hak, perintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya aqidah, hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama. Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya”.[2]


B.       Pengertian Istinbath
Secara bahasa, kata istinbath berasal dari kata istanbatha-yastanithu-istinbathan yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan. Dengan demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.
Pengertian istinbath hukum sering juga diartikan secara kurang tepat, di mana ia diartikan sebagai dalil hukum. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Secara bahasa, kata dalil berarti petunjuk kepada sesuatu yang dapat dirasa maupun yang tidak dapat dirasa, baik petunjuk yang baik maupun buruk. Menurut ahli ushul fikih dalil adalah sesuatu yang menunjukkan pada pandangan yang benar terhadap hukum syari’ah yang bersifat praktis melalui jalan yang qath’i atau zhanni.
Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat para ahli fikih dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli fikih menetapkan hukum syariah atas perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber hukum yang terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fikih.[3]
C.      Dasar-dasar dan sumber Hukum Dalam Istinbath Imam Mazhab
Masing-masing imam mazhab memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dalam menjadikan suatu sumber sebagai landasan dalam penetapan hukum. Adapun persamaan yang dapat dilihat dari masing-masing mazhab yaitu mereka sama-sama mengedepankan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber yang utama. Namun dalam penilaian keshahihan ataupun kedhaifan sebuah Hadits, mereka berbeda-beda. Sedangkan perbedaan yang paling tampak ialah dalam Perbedaan mereka dalam menggunakan dalil-dalil mukhtalaf, yaitu dalil –dalil yang diperselisihkan. Misalnya, kalau Abu Hanifah menggunakan istihsan sebagai salah satu sumber, maka imam Syafi’I menolaknya. Adanya perbedaan –perbedaan dalam penetapan sumber hukum yang diperselisihkan sebagai landasan penetapan hukum, ini karena disebabkan Perbedaan waktu, tempat dan kondisi para imam maupun Perbedaan mereka dalam mensikapi dalil-dalil yang kelihatan kontradiktif. Oleh karena itu, sebagai umat muslim, kita harus dapat mensikapi secara bijak adanya perbedaan – perbedaan hukum yang ditetapkan oleh masing-masing mazhab.[4]
Adapun dasar-dasar atau pun sumber hukum dalam Istinbath Imam Mazhab ialah:
1.    Dasar-dasar atau pun sumber hukum mazhab Hanafi (Abu Hanifah)
1)      Al-Qur’an
2)      As-Sunnah
3)      Ijma’ sahabat
4)      Pendapat sahabat pribadi
5)      Qiyas
6)      Istihsan
7)      ‘Uruf
a.       Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’
Bagi mazhab Hanifah (Abu Hanifah) Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ merupakan sumber hukum yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat didalam Al-Qur’an maka meruju’ ke Hadits dan jika tidak terdapat didalam hadits maka meruju’ ke Ijma’. Terkait dengan sunnah, Imam Hanafi hanya menggunakan hadits yang shahih dan masyhur.
Pendapat para sahabat Imam Hanafi hanya menggunakan pendapat yang memadai permasalahan pada masa itu, dalam menetapkan pandangan ini sebagai prinsip penting mazhab.

b.      Qiyas (Deduksi Analogis)
Konsep yang diutarakan oleh Hanafi bahwa beliau tidak harus menerima hukum dari para tabi’in atau dari muridnya sahabat, dia memandang bahwa dirinya setara dengan para tabi’in dan melakukan atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri.
c.       Istihsan (Prepensi)
Istihsan sederhanaya adalah suatu bukti yang lebih disukai dari pada bukti lainnya karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya yang walaupun bukti yang digunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.
d.      ‘Uruf (Tradisi Lokal)
Tradisi lokal diberi bobot hukum dalam wilayah dimana tidak terdapat tradisi Islam yang mengikat, melalui penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang beragam dalam budaya yang berbeda didalam dunia Islam menjadi sumber hukum.[5]
2.    Dasar-dasar atau pun sumber hukum mazhab Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas beliau terkenal dengan ahlul hadits  dalam mengistinbathkan hukum Islam. Kitab pegangannya yang popular adalah Al-Muwatha.
Dasar-dasar mazhab imam Malik bin Anas diantaranya:
1)      Nash Al-Qur’an
2)      Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
3)      Dalil Al-Qur’an, yakni Mafhum mukhalafahnya
4)      Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya
5)      Tambih Al-Qur’an, yakni memperhatikan illat (sebab) suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).” Surah Al-An’am ayat 145.
Lima dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal dari sunnah juga sama seperti lima yang dari A-Qur’an. Dengan demikian jumlahnya menjadi sepuluh. Apun selanjutnya:
6)      Ijma’
7)      Qiyas
8)      Amal/ perbuatan penduduk Madinah
9)      Perkataan sahabat
10)  Istihsan
11)  Saddu Dzari’ah
12)  Memperhatikan perbedaan
13)  Istishab
14)  Mashlahah Mursalah
15)  Syur’u man Qablana (syariat sebelum kita).[6]
Adapun sumber hukum Imam malik dalam berijtihad adalah:
1)      Al-Qur’an,
2)      As-Sunnah,
3)      Ijma’
4)      Qiyas
5)      Amal ahlul madinah (Amalan Ulama Madinah)
6)      Qaul shahabi (perkataan sehabat)
7)      Khabar ahad
8)      Istihsan
9)      Maslahah Mursalah
a.       Al-Qur’an
Imam malik melihat dan mengembangkannya dari segi: Nash dzahir, mafhum mukhalafah, mafhum muwafaqah dan Al-Tanbih ala al-‘illah. Al-tanbih ala al-‘illah adalah memperhatikan illat yang disebutkan dalam nash dan mengembangkannya kepada sesuatu yang tidak disebutkan tapi mempunyai illat yang sama. Misalnya firman Allah pada surat Al-An’am ayat 145:
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã ¨bÎ*sù š­/u Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÍÎÈ  
Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".[7]
b.      Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang sama ketika berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya pentakwilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zhahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zhahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang terkandung dalam sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Madinah maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zhahir Al- Qur’an.[8]

c.       Ijma’ ahl Madinah
Ijma’ ahl Madinah ada beberapa macam , yaitu :
1)      Ijmak ahl madinah yang asalnya dari Al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah, bukan hasil ijtihad ahl Madinah. Seperti penentuan tempat mimbar Nabi Muhammad. Ijmak semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
2)      Amalan al madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijmak ini dijadikan hujjah oleh imam malik, karena hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui pada masa itu yang bertentangan dengan sunnah Rasullullah SAW.
3)      Amalan ahl Madinah yang dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya apabila ada dua dalil yang bertentangan maka untuk  mentarjih salah satu dari kedua dalil , ahl madinah itulah yang dijadikan sebagai hujjah.
4)      Amalan ahl madinah sesudah masa keutamaaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl madinah seperti ini bukan hujjah menurut mazhab maliki
d.      Qaul Shahabi (perkataan sahabat)
Yang dimaksud sahabat disini ialah sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan qaul shahabi berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar yang dipahami dari Rasulullah.
e.       Khabar Ahad
Dalam menggunakan khabar Ahad, Imam Malik tidak konsisten. Sebab terkadang ia lebih mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Misalnya, bila khabar ahad tersebut tidak dikenal oleh kalangan masyarakat Madinah, ini berarti khabar ahad itu tidak benar dari Rasulullah SAW. Maka, khabar ahad itu tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi beliau akan menggunakan qiyas dan maslahah.
f.       Al- Istishan
Menurut mazhab Maliki Al- Istishan adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh). Dalam istilah lain, Istishan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkannya. Tegasnya, istishan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum, yakni jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu hukum harus mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat.
Menurut mazhab Maliki, istishan bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat. Dalam kaidah fiqiyah disebut raf’ul al- Haraj wa al-Masyaqah (menghindarkan kesempitan yang telah diakui syari’at kebenarannya).
g.      Maslahah al-Mursalah
Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka berarti Maslahah al-Mursalah kembali pada memelihara tujuan syari’at yang diturunkan. Adapun tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur’an dan sunnah.[9]
3.    Dasar-dasar dan sumber hukum mazhab Imam Syafi’i
Adapun Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal itu di utarakan Imam Syafi’i didalam kitab Risalah:
a)      Al-Qur’an
b)      Al-Hadits
c)      Ijma’
d)     Ra’yu (qiyas).[10]
1)      Al-Qur’an
Konsep Al-Qur’an menurut para ulama dan Syafi’i sama, yaitu suatu sumber hukum yang mutlaq, ini adalah landasan dasar, karena tidak mungkin didapati perbedaan dalamnya baik lafald dangan lafald. Pemahaman Imam Syafi’i dikuatkan dengan firman Allah yang artinya: “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat”[11]
Dalam menggali hukum Al-Qur’an Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan bahasa sebagaimana yang telah beliau utarakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan difahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat Al-Qur’an setiap kali beliau berfatwa, namun Syafi’i menganggap bahwa Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari sunnah (Al-Hadits), karena kaitan antara keduanya sangat erat.[12]
2)      Al-Hadits (sunnah)
Arti sunnah yang biasanya disebut dalam Ar-Risalah adalah “khabar” dalam arti istilah ilmu hadits adalah berita, bentuk jama’nya adalah khabar dalam artian yang keseluruhannya datang dari Nabi atau selainnya, penggunaan khabar lebih luas dari pada hadits.
Pemahaman Syafi’i tentang hadits adalah sebagai bentuk:
a)      Al-Aqwal Nabi
b)      Al-Af’al Nabi
c)      Al-Taqdiru Nabi ‘ala amrin
Untuk hadits Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadits yang bersifat Mutawatir dan ahad, sedangkan untuk hadits yang dhaif hanya digunakan untuk li afdhalil amal, dalam menerima hadits ahad mazhab Syafi’i mensyaratkan:
1)      Perawinya tsiqah dan terkenal shiddiq
2)      Perawinya cerdik dan memahami hadits yang diriwayatkannya
3)      Perawinya dengan riwayat bil lafdhi bukan dengan riwayat bilmakna.
4)      Perawinya tidak menyalahi ahlu ilmi.
Kalau kita perhatikan, persyaratan yang disyaratkan oleh Syafi’i hanya untuk keshahihan suatu hadits, hadits ahad yang diterimanya sebatas kalau hadits tersebut sahih dan bersembung.
Faktor yang melatar belakangi Syafi’i lebih teliti dalam menerima hadits karena sesudah Nabi Wafat banyak dari kelangan aliran politik yang membuat hadits-hadits palsu untuk menguatkan posisinya sebagai pemimpin. Dan hadits pun bisa diatur dan diubah sesuai keinginan pemimpin.[13]
3)      Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’nya para sahabat, dalam arti perkara yang diputuskan oleh para sahabat dan disepakati, maka itu menjadi sumber hukum yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik Al-Qur’an maupun hadits, contoh ijma’ yaitu shalat terawih 20 rakaat, jika terjadi perbedaan diantara para sahabat, maka Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan sunnah.
Ijma’ menurut para ulama menepati posisi ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits, begitu juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang ditawarkan oleh Syafi’i mengharuskan merujuk kepada dalil yang ada yaitu Al-Kitab dan As-sunnah yang memiliki hubungan kepada qias, alasan yang diutarakan Syafi’i kenapa ijma’ harus disandarkan kepada nash. Pertama, bila ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil maka ijma’ tersebut tidak akan sampai kepada kebenarannya. Kedua, bahwa para sahabat tidak lebih benar dari pada Nabi, sementara Nabi tidak pernah menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan dalil-dalil Al-Qur’an. Ketiga, pendapat Agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah salah besar. Keempat, pendapat yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hukum syara’nya.[14]
4)      Ra’yu (qiyas)
Qiyas menurut para ahli hukum Islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip tertentu, perbandingan hukum permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama, contoh yang diberikan oleh Imam Syafi’i, Zakat beras, tulang babi dan lain-lain.
Imam Syafi’i sangat membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak bisa independent karena semua yang diutarakan oleh imam Syafi’i dikaitkan dengan Nash Al-Qur’an dan Sunnah.[15]
4.    Dasar-dasar dan sumber hukum mazhab Imam Ahmad bin Hambal
Adapn Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum itu dibangun atas lima dasar yaitu:
1.       Al-Qur’an dan Sunnah.
2.      Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah ia menukil fatwa sehabat yang di sepakati sehabat lainnya.
3.      Apabila fatwa sahabat berbeda-beda maka ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4.      Imam Ahmad bin Hambal mengambil Hadits mursal dan dhaif sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya.
5.      Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat.[16]
a.       Al-Qur’an dan Al-Sunnah Al-Shahih
Jika Imam Ahmad Ibn Hanbal sudah menemukan Nash, baik dari Al-Qur’an maupun dari al-Hadis al-Shahih, maka dalam menetapkan hukum Islam beliau akan menggunakan Nash tersebut sekalipun ada faktor lain yang bisa dipakai bahan pertimbangan. Seperti dalam masalah iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya. Dan tidak memakai fatwa Abdullah bin Abbas sama dengan Imam Asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa masa iddahnya adalah rentang waktu terpanjang dari dua ketentuan masa iddah dan tetap berpegang pada nash Al-Qur’an, yaitu empat bulan sepuluh hari.[17]
b.      Fatwa para Sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qurán maupun dari hadits sahih , maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para Sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan diantara mereka. Fatwa para Sahabt Nabi yang timbul dalam perselisihan diantara mereka yang diambilnya yang lebih dekat kepada nash Al-Qurán dan sunah. Apabila Imam Ahmad tidak menemukan fatwa para sahabat Nabi yang disepakati sesame mereka, maka beliau menetapkan hukum dengan cara memilih dari fatwa-fatwa mereka yang dipandang lebih dekat kepada Al-Qurán dan Sunnah.
c.       Al-Hadis al-Mursal dan al-Hadis a-Dhaif
Menggunakan hadis mursal dan hadis dhaif jika tidak ada dalil lain yang menguatkannya didsahulukan daripada qiyas. Adapun hadis dhaif menurut versi Imam Ahmad bukan hadis batil atau munkar, atau ada perawinya yang dituduh dusta serta tidak boleh diambil hadisnya. Namun yang beliau maksud kandungan hadis dhaif adalah orang yang belum mencapai derajat tsiqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta dan jika memang demikian maka beliaupun bagian dari hadis yang Shahih.
d.      Qiyas
Apabila Iman Ahmad tidak mendapatkan nash, baik Al-Qurán dan Sunnah yang sahih serta fatwa-fatwa sahabt, maupun hadits dhaíf  dan mursal,  maka Imam Ahmad dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas. Kadang-kadang Imam Ahmad pun menggunakan al-Maslahih al-Mursalah  terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, Imam Ahmad pernah menetapkan hukum Ta’zir terhadap orang yang selalu berbuat kerusakan dan menetapkan hukum had  yang lebih berat terhadap orang yang minum khamar pada siang hari di bulan Ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh pengikut-pengikutnya. Begitu pula dengan Istihsan, Istishab, dan sad al-Dzaraí, sekalipun Imam Ahmad itu sangat jarang menggunakannya dalam menetapkan hukum.
Imam Ahmad ibn Hanbal mengkaji serta meneliti dengan cermat hadits-hadits yang ada kaitannya dengan halal dan haram. Begitu pula terhadap sanad-sanad hadits itu , tetapi beliau agak longgar sedikit dalam menerima hadits-hsdits yang berkaitan dengan ajran-ajaran akhlak dan keutamaan-keutamaan dalam amal ibadah dan adat istiadat yang terpuji, sebgaimana Imam Ahmad menyebutkan sebagai berikut: “Apabila kami terima dari Rasulullah hadits yang mennerangkan halal dan haram , juga menerangkan tentang Sunnah dan hukum-hukum , kami menelitinya dengan sangat hati-hati dan begitu juga sanad-sanadnya, tetapi apabila kami menerima hadits tentang masalah yang tidak berkaitan dengan hukum, kami longgarkan sedikit”.[18]
5.    Dasar-dasar dan sumber hukum mazhab Imam Ja’far As-Shiddiq
Menurut madzhab ini, yang menjadi sumber tasyri’ pada madzhab Ja’fari adalah Al-Qur’an, sunnah, Ijma’ dan akal. Orang yang dapat meriwayatkan sunnah hanya terbatas pada periwayatan yang dilakukan oleh ahlul bait saja, sedangkan yang menjadi objek sunnah adalah diri Nabi dan para Imam mereka. Dan yang dimaksud dengan ijma’ adalah ijma’ dikalangan mereka sendiri.[19]
Kita bisa melihat madzhab Ja’fariyah atau madzhab Syi’ah Imamiyah ini dari dua sisi, yaitu dari sisi aqidah yang memang berafiliasi kepada paham Syiah. Sedangkan yang kedua, dari sisi fiqh yang sesungguhnya punya beberapa persamaan dengan fiqh 4 madzhab, meski tetap meninggalkan perbedaan paham fiqh yang prinsip.
Beberapa perbedaan madzhab ini dengan fiqh ahlisunnah dari segi pemahaman fiqh antara lain:
1)      Menghalalkan nikah mut’ah atau kawin kontrak.
2)      Mewajibkan adanya saksi dalam setiap perceraian.
3)      Mengharamkan sembelihan ahli kitab.
4)      Mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan wanita ahli kitab.
5)      Dalam masalah warisan, mereka mendahulukan anak paman yang seayah dan seibu ketimbang anak paman yang seayah.
6)      Tidak mengakui syari’at al-mashu ‘alal-khuffain sebagai pengganti cuci kaki dalam wudhu’.
7)      Di dalam lafaz azan, mereka menambahkan kalimat Asyhadu anna “Aliyyan waliyullah dan kalimat Hayya ‘ala khairil ‘amal.
Adapun dari sisi landasan dasar fiqh mereka, juga ada beberapa perbedaan mendasar, antara lain:
1)      Dalam maslaah penggunaan dalil-dalil fiqh, mereka memilih hanya menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahlul bait saja. Sikap mereka ini mirip dengan mahzab teman mereka, yaitu madzhab Az-Zaidiyah yang juga menolak semua hadits riwayat para sahabat selain ahlul bait.
2)      Mereka punya kitab hadits khusus yang berjudul Al Kafii fi ilmid-diin, susunan Al-Kulainiy, berisi 60.099 hadits-hadits yang semuanya diriwayatkan dari jalur ahlul bait. Di dalam kutubussittah termasuk shahih Bukhari dan Muslim, hadits-hadits ini juga ada termuat dengan dinomorkan dengan nomor Zaid.
3)      Mereka mengedepankan ijtihad namun menolak qiyas yang tidak disertai nash tentang ‘illatnya.
4)      Mengingkari ijma’ kecuali bila di dalam ijma’ itu ada imam yang ikut serta.
5)      Rujukan dalam semua masalah fiqh hanya terbatas kepada ulama dari imam mereka saja.[20]



[1] Siswady “Makalah sistem istimbath istimbat hukum empat mazhab”. http://siswady.wordpress.com/makalah/sistem-istinbath-hukum-empat-imam-mazhab/, diakses tgl 14-05-2014. 07-36.
[2] Siswady “Makalah sistem istimbath istimbat hukum empat mazhab”. http://siswady.wordpress.com/makalah/sistem-istinbath-hukum-empat-imam-mazhab/, Ibid, h. 2-3
[3] Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, (al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, t.th), h. 25.
[4] Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003), h. 37
[5] Huzaen Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 95-100
[6] Cakramalailmupendidikan, “Biografi dan metode istinbath imam” http://cakrawalailmupendidikan.blogspot.com/2013/12/biografi-dan-metode-istinbath-imam.html. Diakses tggl 06-05-2014/ 06:12
[7] Prof.Kasuwi Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy,(kutub minar,2005), h.180
[8] Prof. Kasuwi Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy, Ibid. h. 182
[9] Muhammad Ma’sum Zaini,Ilmu ushul fiqih,(Darul hikmah jombang,2008),h. 99-109
[10] Sirajuddin Abbas, sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiah, 1994), h. 32
[11] Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi, Tarikh Al-Tasyri’Al-Islami, (Bairut: Dar Al-Fikr, tth), h. 306
[12] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqih Al-Islamiyah, (Damsyik: Dar-Fiqr, 1996), h. 420
[13] Manna Al-Qathan, Mabahits Fi Ulumu Al-Hadis. Terj oleh Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, tth), h. 25
[14] Roibin, Sosiologi Hukum Islam; telaah Sosio Hestoris pemikiran Syafi’i, (malang: UIN Malang, 2008), h. 105
[15] Ibid, h. 106.
[16] Norcahayakemenangan, “Imam Mazhab Serta Kitab”, http://nurcahayakemenagan.blogspot.com/2013/02/imam-mazhab-serta-kitab.html. Diakses tgl 16-05-2014/ 06-15
[17] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, (Jakarta; Amzah, 2009), h.195
[18] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Ibid, h.198
[20] Cakramalailmupendidikan, “Biografi dan metode istinbath imam” http://cakrawalailmupendidikan.blogspot.com/2013/12/biografi-dan-metode-istinbath-imam.html. Op. Cit. h. 9

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajuddin, sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiah, 1994)
Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi, Tarikh Al-Tasyri’Al-Islami, (Bairut: Dar Al-Fikr, tth)
Al-Jaziry, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, (al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, t.th)
Al-Jamal, Hasan, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003)
Manna Al-Qathan, Mabahits Fi Ulumu Al-Hadis. Terj oleh Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, tth)
Roibin, Sosiologi Hukum Islam; telaah Sosio Hestoris pemikiran Syafi’i, (malang: UIN Malang, 2008)
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Jakarta; Amzah, 2009
Saiban, Kasuwi, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy,(kutub minar,2005)
Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqih Al-Islamiyah, (Damsyik: Dar-Fiqr, 1996)
Yanggo, Tahido, Huzaen, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Zaini, Ma’sum, Muhammad, Ilmu ushul fiqih,(Darul hikmah jombang,2008)